Masjid, Wajah Multikulturalisme Islam

(Gambar dari: http://famouswonders.com/)
(Gambar dari: http://famouswonders.com/)

Masjid dengan segala cirinya adalah sebuah mahakarya. Menilik perkembangannya dari masa ke masa, masjid merupakan akumulasi panjang dari dialog antar peradaban selama ratusan tahun. Semua hal yang kini dianggap sebagai ciri khas masjid sesungguhnya merupakan hal-hal yang tak pernah dikenal pada bentuk masjid di masa awal. Kubah besarnya berasal dari arsitektur gereja Kristen Byzantium, sedangkan menara tingginya berasal dari kuil api Majusi Persia. Cekungan mihrabnya diambil dari gaya altar, sajadah permadaninya mengikuti adat Romawi dan Persia, hingga mimbarnya pun meniru tempat pendeta berkhotbah.

Di berbagai belahan dunia, masjid menyerap unsur-unsur lokal yang terdapat di sekitarnya. Masjid-masjid di Gujarat mengadopsi gaya kuil Hindu setempat, sementara masjid-masjid di Tiongkok mengadopsi gaya kuil Konghucu dan Tao. Hal yang sama juga terjadi di Nusantara, di mana masjid-masjid tradisional kita mengadopsi gaya bangunan atap tumpang. Gaya ini melambangkan filosofi Gunung Mahameru sebagai kediaman para dewa dalam kepercayaan leluhur. Tak hanya itu, masjid-masjid di Nusantara juga menggunakan gapura yang dipengaruhi budaya Hindu dan bedug yang dipengaruhi budaya Tionghoa. Masjid-masjid keraton di Jawa memiliki ruangan khusus untuk memainkan gamelan pada hari raya. Fenomena akulturasi masjid menjadi sumber perayaan akan Islam yang multikultural.

(Gambar dari: http://thetusti.com/)
(Gambar dari: http://thetusti.com/)

Dalam Islam, multikulturalisme merupakan sunnatullah yang dihormati. Allah berfirman:

“… dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah.” (Al-Hujuraat:13)

Meski pun Islam lahir di Jazirah Arab, bukan berarti agama ini terikat pada budaya Arab saja. Islam dalam bentuknya yang murni adalah milik dunia yang terdiri dari banyak suku dan bangsa. Ia tidak pernah datang untuk menindas dan menghapuskan keragaman tersebut. Oleh sebab itu, Islam berhak untuk diinterpretasikan dalam konteks budaya yang berbeda-beda. Masjid sebagai rumah ibadah umat Islam menjadi bukti nyata bagaimana setiap tradisi dunia dapat turut berpartisipasi memperkaya khazanah budaya Islam. Inilah yang dimaksud dengan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.

Keadilan Sosial dalam Islam

(Gambar dari: http://www.villageearth.org/)
(Gambar dari: http://www.villageearth.org/)

“Tidaklah beriman orang yang kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya.” (HR. Bukhari, At-Thabrani, Al-Hakim)

Salah satu cita-cita utama ajaran Islam sepanjang masa ialah menghapus kemiskinan di seluruh dunia. Semangat ini tertuang dalam konsep zakat yang didesain untuk mendistribusikan kekayaan hingga ke lapisan sosial terbawah (bottom of pyramid), yaitu para fakir miskin. Dengan mengambil 2,5 % dari akumulasi kekayaan pada lapisan sosial menengah atas, Islam mengajarkan bahwa ada tanggung jawab sosial yang harus dipikul bersama oleh masyarakat untuk menolong yang lemah di antara mereka. Sikap tidak peduli terhadap tanggung jawab ini merupakan bentuk kemaksiatan yang dibenci oleh agama.

Kepedulian terhadap kaum miskin tidak lantas berarti Islam melarang manusia untuk menjadi kaya. Islam bahkan mendorong umatnya untuk bertebaran di muka bumi mencari rezeki Tuhan dengan jalan apa pun selama halal dan tidak merusak. Namun Islam juga menghendaki agar kekayaan yang terkumpul tidak beredar di sekelompok kecil masyarakat saja. Dalam setiap pundi-pundi kekayaan, ada hak kaum miskin yang harus dikeluarkan demi menjaga kebutuhan dasar mereka. Keadilan sosial ini menguntungkan tidak hanya kaum miskin itu sendiri, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Dengan tercukupinya kebutuhan dasar, peluang terjadinya kriminalitas maupun kerusuhan sosial akan menurun. Hukuman terhadap kasus-kasus seperti pencurian dan perampokan pun dapat ditegakkan dengan rasa keadilan yang lebih baik.

Wujud tanggung jawab sosial tidak hanya diterapkan pada level individual, tapi juga pada level komunitas hingga lembaga negara. Para khalifah di masa awal telah memberikan teladan yang baik mengenai tanggung jawab ini dengan sejumlah kebijakan sosialis. Di antaranya ialah dana subsidi langsung serta jatah gandum bulanan untuk orang miskin, cacat, veteran perang yang sudah tua, dan para korban bencana. Para pejabat negara juga dituntut untuk hidup sederhana dan sensitif terhadap kesenjangan sosial di wilayah tanggung jawabnya. Khalifah Umar memberi contoh dengan berpakaian dan memiliki rumah sederhana. Ia juga rajin berkeliling di malam hari untuk melihat kondisi warganya secara langsung tanpa menunggu laporan dari bawahannya. Hingga dalam suatu kisah disebutkan Umar memanggul sendiri karung gandum untuk dibawa kepada warganya yang kelaparan di tengah malam.

Tuntutan untuk bersikap peduli pada sesama menjadi semakin besar pada kasus-kasus luar biasa seperti kelaparan, bencana, dan kemiskinan ekstrim. Umar pernah membatalkan hukuman bagi seorang pencuri yang kelaparan, sementara korban pencuriannya adalah tetangga sebelah rumahnya yang hidup bergelimang harta. Umar justru mengancam akan menghukum si orang kaya apabila tetangganya kedapatan mencuri lagi karena terlalu lapar. Dengan kata lain, jaminan sosial harus ditegakkan sebelum jaminan hukum diberikan.

(Gambar dari: http://gdb.voanews.com/)
(Gambar dari: http://gdb.voanews.com/)

Jaminan tersebut tentunya tidak diberikan cuma-cuma, apalagi diambil oleh para pemalas yang sebenarnya mampu bekerja. Islam tidak menghendaki adanya populasi pemalas. Mereka yang rajin beribadah sekalipun dituntut untuk tetap bekerja mencari penghasilan setidaknya bagi dirinya sendiri. Sementara jaminan utama diberikan pada mereka yang tak lagi mampu bekerja, sebagai manifestasi dari prinsip Maha Adil dan Maha Pengasih.

Dalam konteks negara modern saat ini, Islam sejatinya mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang menjamin kesejahteraan warga. Jaminan ini meliputi kebutuhan dasar seperti subsidi makanan bagi kelompok yang paling miskin serta asuransi kesehatan untuk seluruh warga negara. Masyarakat didorong untuk terus mengembangkan kekayaan dengan cara-cara yang benar dan berkelanjutan seraya memasang jaring pengaman untuk melindungi orang-orang yang kurang beruntung di dalamnya. Dengan demikian, cita-cita masyarakat yang harmonis dan berkeadilan insya Allah dapat terwujudkan.

Yang Tersisihkan: Para Nabi Perempuan

(Gambar dari: http://www.avona.org/)
(Gambar dari: http://www.avona.org/)

Dalam panggung sejarah, perempuan adalah bayang-bayang. Hanya kelebatan wujud samar yang nyaris luput dari ingatan dunia, seperti tembang para ibu saat menidurkan anaknya yang terdengar lamat-lamat di alam setengah mimpi. Lelaki lah yang mendirikan dan menghancurkan kerajaan. Yang membangun kota-kota dan membakarnya. Juga yang menentukan segala norma kebenaran tak terbantahkan.

Dalam dunia para lelaki ini lah — dunia yang hanya mencatat nama para ayah dan kakek hingga berpuluh generasi ke atas sambil melupakan nama ibu dan nenek mereka — agama-agama kemudian lahir dan berkembang. Termasuk Islam. Tak dapat dihindari, Islam pun turut terbelit dalam budaya patriarki yang telah melingkupi sistem sosial di sekelilingnya. Ia menjadi sangat maskulin, menyisihkan perempuan dari arena-arena utama keagamaan, baik secara ritual maupun konseptual. Salah satu arena paling utama dalam agama yang menyingkirkan perempuan ialah arena kenabian.

Meski pun Al-Qur’an telah menceritakan kisah-kisah perempuan saleh yang menerima wahyu, mayoritas ulama menolak untuk mengakui kenabian mereka dengan alasan yang begitu sederhana, yaitu bahwa mereka bukan laki-laki. Cara berpikir ini sangat bisa dimaklumi dalam kerangka patriarkis yang sulit membayangkan perempuan berada di posisi tinggi. Namun ini tak menghalangi sebagian ulama di masa silam untuk tetap mengakui kenabian para perempuan dalam Al-Qur’an. Di antara para ulama itu ialah Abu Abdullah Al-Qurthubi, Abu Hasan Al-Asy’ari, dan Ibnu Hazm.

Dalam Kitab Fathul Bari, Imam Qurthubi mengakui Maryam ibunda Nabi Isa sebagai seorang nabiah (nabi perempuan) karena telah menerima wahyu. Sementara itu, Imam Asy’ari menyebutkan deretan nama nabi perempuan di antaranya Hawa, Sarah, ibunda Musa (Yokhebed), Hajar, Asiah, dan Maryam. Ibnu Hazm menguatkan pendapat tentang nabi-nabi perempuan ini, yang menegaskan bahwa Allah memberi ruang yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mencapai derajat kemuliaan.

(Gambar dari: http://tabletmag.com/)
(Gambar dari: http://tabletmag.com/)

Hilangnya nabi-nabi perempuan dalam Islam merupakan sebuah musibah tersendiri, mengingat Islam merupakan yang terakhir di antara tiga serangkai agama Ibrahim lainnya yaitu Yahudi dan Nasrani. Sementara kisah-kisah Yahudi dan Nasrani sendiri ramai dengan tokoh nabi perempuan. Nama-nama seperti Deborah, Ester, Miriam, Huldah, dan Hannah adalah di antara nabi-nabi perempuan yang diakui dalam Kitab Perjanjian Lama.

Menjadi tugas bagi para orangtua dan pendidik Muslim di sekolah dan madrasah untuk memperkenalkan kembali nabi-nabi perempuan yang sekian lama ini disisihkan. Pengenalan ini merupakan bagian penting dari reformasi untuk memulihkan peran perempuan dalam Islam. Kita ajarkan pada putra-putri kita bahwa nabi-nabi Allah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Bahwa kita semua sama di hadapan Allah, dengan hak dan tanggung jawab yang sama.

Surga-Nya Cukup Luas Untuk Semua Agama

(Gambar dari: http://baliblogger.info/)
(Gambar dari: http://baliblogger.info/)

Suatu ketika, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Salman Al-Farisi tampak gusar. Sebelum mengenal Nabi dan menjadi seorang Muslim, Salman adalah seorang penganut Nasrani yang tinggal bersama para biarawan di gereja. Salman mengenal para biarawan itu sebagai orang-orang yang baik dan saleh. Hal itu membuatnya sedih karena ia mengira bahwa para biarawan itu akan masuk neraka sebab mereka bukan Muslim. Betapa lembut dan pengasihnya hati seorang Salman, yang memikirkan nasib para biarawan baik hati yang sudah dia anggap seperti sahabat dan keluarganya sendiri.

Mungkin ada di antara kita yang memiliki kegusaran yang sama seperti Salman. Hidup di tengah masyarakat yang bhinneka, kita semua tentu memiliki kenalan, sahabat, atau bahkan keluarga yang berbeda agama. Mereka orang-orang yang baik dan menjalani hidup sehari-hari sama seperti kita. Satu-satunya perbedaan hanyalah nama agamanya saja. Apakah hal ini akan membuat mereka masuk neraka?

Allah menjawab kegusaran Salman dan kita semua lewat ayat berikut:

“Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal saleh, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.” (Al-Baqarah:62)

Tak peduli apa pun agama dan keyakinan seseorang, iman dan amal baik pasti akan mendapat balasan dari Tuhan. Bukankah Dia Sang Maha Adil dan Maha Pengasih? Tak sedikit pun hati yang tulus akan dikecewakan, dan tak sedikit pun perbuatan yang baik akan disia-siakan.

(Gambar dari: http://www.indiatimes.com/)
(Gambar dari: http://www.indiatimes.com/)

Dari 99 nama-Nya yang agung, Allah memiliki satu nama yaitu Rahman yang berarti Pengasih atau Maha Kasih. Sebagai sang Rahman, kasih-Nya memancar ke segenap penjuru alam raya dan apa yang ada di dalamnya. Kasih ini meliputi segala yang hidup di langit dan di bumi, baik yang merayap, berlari, berenang dan terbang. Dengan kasih sebesar itu, yang melampaui apa pun di dunia ini, sudah tentu kasih Allah juga memancar ke seluruh umat manusia tanpa memandang suku, bangsa, atau pun agamanya.

Sosok Allah sebagai sumber segala kasih begitu sentral dalam Islam, sehingga bacaan basmalah menjadi pembuka dalam hampir semua perbuatan umat Islam. Bacaan basmalah yang berbunyi: Bismillahirrahmanirrahim yang berarti “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Oleh sebab itu, amatlah keliru keyakinan yang mengatakan bahwa surga hanya diperuntukkan bagi satu agama saja. Kasih Allah cukup besar untuk merangkul seluruh manusia di berbagai belahan dunia, termasuk yang tak mengenal Islam. Meragukannya justru berarti kita telah meragukan kemahapengasihan Allah.

(Gambar dari: http://s.hswstatic.com/)
(Gambar dari: http://s.hswstatic.com/)

Dalam ayat lain Allah berfiman:

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Shabi’in, Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan membuat keputusan di antara mereka kelak di hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (Al-Haj: 17)

Ayat ini menjadi peringatan bagi orang-orang yang sombong karena merasa sudah memegang kunci surga. Mereka yang bahkan sudah berani menunjuk siapa yang akan masuk surga dan siapa yang akan masuk neraka. Padahal keputusan ini adalah milik Allah semata. Muslim atau pun bukan, semua hanya menunggu keputusan-Nya di hari kiamat kelak. Karena Dia-lah hakim yang sebenarnya.

Jika kita selalu mengisi hidup ini dengan perbuatan baik dan cinta kasih pada sesama, maka pesan Allah adalah tidak akan ada ketakutan dan dukacita atas kita kelak di hari kiamat. Namun sebaliknya jika kita mengisi hidup ini dengan keangkuhan, sikap sombong, dan menebar kebencian pada sesama, maka layakkah kita menyebut diri sebagai penyembah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Surga-Nya cukup luas untuk kita semua, apa pun agamanya, selama kita mengisi hidup ini dengan kebaikan.

Mengapa Jilbab Tak Lagi Wajib (Gugurnya Perintah Hijab)

(Gambar dari: http://www.soloblitz.co.id/)
(Gambar dari: http://www.soloblitz.co.id/)

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab: 59)

Seringkali kita mendengar dalam ceramah di masjid dan televisi tentang wajibnya perempuan berjilbab. Konon perempuan yang tidak mau berjilbab akan disiksa di dalam kuburnya, dibakar rambutnya, dan dimasukkan ke dalam api neraka. Seram sekali ya.. Tapi benarkah ancaman semacam itu ada dasarnya? Bagaimana bisa selembar kain berkaitan dengan moralitas atau pun dosa pahala?

Ayat 59 surat Al-Ahzaab umumnya menjadi dalil bagi mereka yang mewajibkan jilbab (jilbab dalam Bahasa Arab merupakan kain lebar yang menutup seluruh tubuh). Ayat tersebut memang benar adanya kita dapati dalam Al-Qur’an. Namun jika kita telisik lebih dalam mengenai sebab turunnya (Asbabun Nuzul), kita akan mendapati bahwa ayat ini sesungguhnya memiliki tujuan khusus. Diceritakan bahwa istri-istri Nabi saat keluar rumah seringkali diganggu oleh para pria jahiliyah hidung belang di Madinah. Saat para pria itu ditegur, mereka berkilah dengan mengatakan bahwa mereka kira istri-istri Nabi itu adalah budak, sehingga mereka boleh mengganggunya (Pada masa itu masih ada budak. Mereka tidak dihormati dan lazim dilecehkan). Atas kejadian ini lah, maka istri-istri Nabi dan para muslimah di Madinah diperintahkan untuk berjilbab sebagai identitas yang membedakan mereka dari budak. Sehingga para pria hidung belang tidak lagi memiliki alasan untuk mengganggu mereka.

Imam As-Suyuti dalam tafsirnya Duur Al-Mansuur Fi Tafsir Bil Ma’tsur menjelaskan lebih lanjut perihal ayat ini: “Jilbab dimaksudkan agar orang-orang dapat membedakan yang mana perempuan merdeka. Umar tidak menyuruh budak perempuan untuk berjilbab dan berkata: jilbab adalah untuk perempuan merdeka, agar mereka tidak dilecehkan.. Umar pernah melihat seorang budak perempuan berjilbab lalu memukulnya dengan tongkatnya, berkata, “lepaskan jilbab itu, jangan coba-coba berpakaian seperti perempuan merdeka!”.. seorang budak perempuan diperlakukan (dengan tidak hormat oleh lelaki lain), dan Allah melarang perempuan merdeka untuk disamakan dengan budak perempuan.”

Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa jilbab bukanlah identitas muslimah, melainkan identitas perempuan merdeka pada zaman itu. Ini adalah penjelasan yang jauh lebih logis, karena perempuan Yahudi dan Nasrani di masa awal Islam juga berjilbab. Sehingga jilbab bukanlah pakaian pembeda agama, melainkan pembeda kelas sosial. Hal ini ditegaskan oleh keputusan di masa Khalifah Umar yang melarang budak perempuan untuk berjilbab. Karena jilbab adalah pakaian khusus untuk perempuan merdeka. Dalam 4 Madzhab Fiqih, batasan aurat seluruh badan hanya lah untuk perempuan merdeka. Sedangkan budak perempuan (meski muslimah sekali pun) auratnya sama seperti laki-laki, hanya dari lutut sampai pusar. Maka keliru sekali jika dikatakan bahwa jilbab identitas muslimah. Kata “agar mudah dikenali” dalam Al-Qur’an berarti agar mudah dikenali bahwa dia perempuan merdeka, bukan muslimah.

Kebijakan pakaian sebagai pembeda status ini tidak hanya ada di Arab, tapi juga di seluruh dunia, namun dalam bentuk yang berbeda-beda. Di Romawi kuno, para budak menggunakan kalung besi khusus yang ditulisi nama pemiliknya. Di India, kasta ksatria menggunakan tali melintang di dada yang disebut ‘upawita’. Ada pun di Tiongkok, para budak dan suku-suku minoritas dilarang memakai beberapa jenis pakaian maupun aksesoris tertentu. Sedangkan di Jepang, hanya perempuan bangsawan yang boleh memakai kimono khusus yang disebut ‘uchikake’.

(Gambar dari: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/)
(Gambar dari: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/)

Kebijakan yang sama juga ditemukan di banyak daerah di Nusantara. Di Yogyakarta, pada tahun 1792 dan 1798 dikeluarkan peraturan keraton yang melarang rakyat jelata menggunakan beberapa motif batik seperti Parang Rusak dan Udan Liris. Aturan yang mirip juga terdapat di Tanah Batak di Sumatera Utara, di mana kain ulos tertentu seperti Ulos Gobar hanya boleh dikenakan bangsawan. Sementara di Bugis, baju bodo berwarna hijau khusus dikenakan oleh perempuan bangsawan saja.

Jilbab juga bukan berfungsi untuk menahan hasrat lelaki seperti banyak dikemukakan. Karena jika para lelaki mau, mereka bisa saja tetap mengganggu wanita yang berjilbab sekali pun (saat ini pun banyak juga kejadian wanita berjilbab masih diganggu). Jilbab hanyalah sekedar penanda di zaman Nabi bahwa seorang perempuan itu merdeka. Sehingga jika ada pria yang masih berani mengganggunya, maka para pria lain dapat mengambil tindakan tegas dengan menghukum pria pengganggu itu.

Lalu mengapa jilbab kini tak wajib lagi? Setidaknya ada dua alasan utama yang mendasarinya.

1. Budak sudah tidak ada lagi

Ayat yang menyuruh perempuan berjilbab pada hakikatnya memiliki semangat proteksi. Ayat ini merupakan bentuk perlindungan terhadap martabat perempuan merdeka di masa Nabi agar mereka mudah dikenali sehingga tidak dilecehkan seperti budak-budak perempuan yang kerap digoda saat keluar rumah majikannya. Maka sejalan dengan penghapusan perbudakan di seluruh dunia, sebab ayat ini pun menjadi hilang sehingga perintahnya pun gugur. Batalnya suatu syariat yang disebabkan oleh perubahan keadaan merupakan keniscayaan yang diamini oleh para pemimpin Islam di masa lalu, seperti Umar yang menggugurkan hak muallaf menerima bagian zakat karena perubahan situasi politik. Bahkan sebelum sistem perbudakan dihapuskan, ayat ini sudah tidak lagi memiliki relevansi pada kondisi lain yang menjadi alasan kedua, yaitu —

2. Islam telah memasuki budaya lain

Jilbab berfungsi sebagai penanda perempuan merdeka di Arab pada masa Nabi. Namun budaya-budaya lain memiliki caranya sendiri dalam membedakan status sosial. Budaya-budaya Nusantara misalnya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, memiliki cara berupa penggunaan motif kain yang berbeda untuk status sosial yang berbeda. Begitu juga budaya-budaya lain di seluruh dunia punya caranya sendiri dalam membedakan status sosial. Sehingga jilbab tidak memiliki relevansi di luar Arab bahkan sejak sistem perbudakan masih ada. Karena tujuan yang dimaksud bukanlah jilbabnya melainkan fungsinya sebagai pembeda antara perempuan merdeka dan budak, sehingga yang merdeka tidak bisa diganggu. Sementara budaya lain di luar Arab memiliki caranya masing-masing dalam memenuhi fungsi pembeda itu.

Dalam masa modern saat ini, ketika budak sudah dihapuskan, maka baik jilbab maupun motif kain sebagai pembeda status sama-sama telah kehilangan relevansinya. Karena kini tidak ada lagi merdeka atau budak, bangsawan atau rakyat biasa. Semua orang kini sama. Setara.

http://insights.wm.ml.com/
(Gambar dari: http://insights.wm.ml.com/)

Di luar itu, setiap budaya juga memiliki standar kesopanannya masing-masing yang berbeda. Bagi kita bangsa Indonesia, perempuan berambut dan bahu terbuka adalah hal yang lumrah dan sopan-sopan saja. Di desa-desa, perempuan mandi di kali dengan berbalut kain atau sarung saja adalah hal biasa. Hal itu tidak menjadi alasan bagi laki-laki di desa untuk berbuat kurang ajar.

Perbedaan budaya ini sangat dipahami oleh para wali serta ulama di Nusantara pada zaman dahulu. Itu lah mengapa kita tidak mendapati nenek-nenek kita berjilbab. Para ulama Nusantara hanya meminta perempuan untuk menutup tubuhnya saat sembahyang, sehingga kita mengenal alat salat yang bernama mukena. Pakaian mukena ini tidak terlalu dikenal di Arab yang memang sehari-hari sudah berpakaian tertutup. Ini ijtihad para wali dalam menghormati adat Nusantara. Mereka tidak dengan angkuhnya mengancam para nenek kita dulu yang berpakaian terbuka.

Berjilbab atau pun tidak bukanlah ukuran untuk menilai kebaikan diri seseorang. Semua kembali pada menata pikiran dan menjaga hati masing-masing. Al-Qur’an telah menyuruh laki-laki untuk “menahan pandangan” dan “menjaga kemaluan”. Bukan menyalahkan perempuan apalagi memaksanya berjilbab, karena pakaian selebar apa pun tidak akan cukup jika laki-laki tidak mengendalikan dirinya sendiri.

Al-Ahzab ayat 59 menyimpulkan motif perintah jilbab itu dengan sangat lugas, “karena itu mereka tidak diganggu”. Ini lah tujuan tertinggi (maqasid) yang dimaksud ayat tersebut, yaitu melindungi wanita merdeka dari gangguan pria jahat pada masa di mana perbudakan masih merajalela dan konsep pidana pelecehan seksual sama sekali belum dikenal. Namun kini, perbudakan sudah dihapuskan dan perlindungan wanita telah diformalkan dalam Undang-Undang yang ditegakkan negara. Maka setiap muslim harus menjadi pembela terdepan dari perlindungan wanita sebagaimana semangat ayat agung ini. Bukan sebaliknya merasa berhak melecehkan mereka yang tidak berjilbab.

Pada akhirnya, bukan lah selembar kain yang menentukan siapa yang paling mulia, melainkan hati dan amal perbuatannya. Dan hanya Tuhan lah yang paling berhak menilainya. Tugas kita hanya lah menjalani hidup dengan baik, saling menghormati dan saling melindungi sesama. Sesederhana itu.

Informasi Tambahan: Sejumlah pertanyaan pada kolom komentar di bawah telah dirangkum dan dijawab dalam artikel baru yang bisa dibaca di link ini.

Cara Terbaik Menghadapi Penghina Nabi

(Gambar dari: http://www.honglingjin.co.uk/)
(Gambar dari: http://www.honglingjin.co.uk/)

Alkisah di suatu sudut pasar kota Madinah pada zaman Nabi Muhammad, hidup lah seorang nenek Yahudi yang telah buta. Pekerjaaannya sehari-hari mengemis di sana, namun dia sering berkata pada orang-orang yang lewat, “Jangan dekati Muhammad. Dia seorang gila, pembohong, dan penipu.” Hinaan itu dilontarkan terus-menerus setiap hari. Namun apa tanggapan Nabi? Beliau datang mengunjungi nenek Yahudi itu dan menyuapinya makanan. Setiap hari, dalam diam. Sementara sang nenek bercerita tentang orang gila bernama Muhammad tanpa tahu bahwa orang yang sedang menyuapinya adalah Muhammad itu sendiri. Sampai akhirnya Baginda Nabi wafat dan nenek itu kehilangan orang yang menyuapinya.

Sesudah Nabi wafat, datang lah Khalifah Abu Bakar ke pasar Madinah. Ia mencari nenek yang biasa disuapi Nabi untuk kemudian menggantikan tugas menyuapinya. Namun saat menyuapi, nenek itu berkata, “kau bukan orang yang biasanya menyuapiku.” Abu Bakar heran dan bertanya, “Dari mana nenek tahu?” Nenek itu menjawab, “orang yang biasa menyuapiku akan menghaluskan makanannya lebih dulu sebelum menyuapi aku.” Mendengar itu, Abu Bakar pun menangis dan berkata, “Maaf, nenek. Orang yang biasa menyuapimu adalah Muhammad. Dia sudah tiada dan aku hanya menggantikannya.” Betapa terkejutnya nenek Yahudi itu. Gemetar badannya, tersentuh oleh akhlak besar Sang Nabi. Betapa orang yang dia caci maki selama ini ternyata adalah orang yang menyuapinya setiap hari. Dalam kerendahan hati, Nenek itu pun mengakui kerasulan Nabi Muhammad di akhir hayatnya.

*****

Apa yang bisa kita petik dari kisah di atas? Ingat bahwa Nabi di Madinah adalah seorang penguasa. Jika beliau mau, mudah saja baginya untuk menyuruh orang menangkap nenek itu atau bahkan membunuhnya. Namun Nabi tidak melakukannya. Yang beliau lakukan justru membalasnya dengan kasih sayang dan perhatian. Sebuah sikap mulia yang menunjukkan kebesaran jiwa dan ketinggian pekertinya.

Jika hari-hari ini, sebagian orang yang mengaku Islam mengira bahwa mereka sedang membela Nabi dengan membantai orang yang menghinanya, maka mereka telah tersesat jauh. Nabi kita adalah nabi yang menyuapi orang yang menghinanya dan mendoakan orang yang memukulinya. Nabi kita adalah nabi yang menunjukkan kebenaran ajarannya dengan kemuliaan akhlak, bukan teror dan perbuatan keji. Jika kita dihina, jika Nabi dan Tuhan kita dihina, hadapi lah dengan cara yang telah dicontohkan beliau. Yaitu cara-cara hikmah yang menenteramkan. Doakan serta beri perhatian. Mereka yang membunuh orang karena menghina Nabi, mereka lah yang sesungguhnya sedang menghina Nabi dan merusak citra agama ini.

Membuka Kembali Pintu Ijtihad

(Gambar dari: http://geekgirlinlove.files.wordpress.com)
(Gambar dari: http://geekgirlinlove.files.wordpress.com)

Kata ijtihad secara bahasa berarti ‘usaha’ atau ‘perjuangan’. Dalam tradisi intelektual Islam, ijtihad merupakan suatu bentuk usaha rasional dalam mencari solusi atau suatu permasalahan khusus yang tidak ditemui pada masa Nabi, atau ditemui dengan kondisi yang berbeda dengan masa Nabi. Cara ini merupakan satu dari empat sumber hukum yang diakui secara sah oleh para ahli fiqih.

Ijtihad dalam Islam telah dimulai bahkan sejak Nabi masih hidup. Muadz bin Jabal adalah sahabat Nabi pertama yang melakukan ijtihad, yaitu membuat keputusan hukum berdasarkan pertimbangannya sendiri saat sedang berada di kota lain yang jauh dari Nabi. Khalifah kedua yaitu Umar juga dikenal banyak melakukan ijtihad. Umar misalnya pernah membatalkan hukum potong tangan bagi seorang pencuri karena melihat ketidakadilan sosial yang menjadi penyebabnya. Berbagai keputusan penting di masa berikutnya seperti pembukuan Al-Qur’an dan hadits juga diambil berdasarkan pertimbangan rasional. Dengan cara ini lah agama Islam di masa lalu berhasil melenturkan diri dengan perkembangan dunia, membuatnya mampu bertahan dan menyebar jauh sampai ke pesisir Atlantik dan pantai-pantai kepulauan Nusantara.

Dalam penerapannya, ijtihad bahkan sanggup membatalkan hukum yang ada dalam Qur’an dan hadits jika ia dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada. Khalifah Umar dengan tegas membatalkan salah satu kriteria penerima zakat yang tercantum dalam Qur’an, yaitu muallaf, dengan pertimbangan rasional bahwa kondisi umat Islam telah lebih kuat dari masa turunnya ayat tersebut. Dalam sudut pandang yang sempit, pasti lah Umar dinilai sesat karena lancang membatalkan hukum Allah. Namun Umar bersikukuh karena dia memiliki alasan logis di balik keputusannya. Pada periode kekhalifahan Baghdad dan Cordoba, ijtihad telah menjadi tradisi yang dilakukan di semua bidang mulai dari soal ibadah, hubungan sosial, tata kelola pemerintahan, hingga teologi dan filsafat. Ijtihad mengakselerasi dan melontarkan peradaban Islam ke level yang lebih tinggi. Membuatnya tetap relevan dan sesuai dengan zaman. Ijtihad menjadi kunci pembaharuan Islam.

Namun bersamaan dengan surutnya tradisi intelektual Islam, ijtihad mengalami lonceng kematiannya sekitar abad ke-10 Masehi ketika para ulama di masa itu berpikir bahwa semua masalah keagamaan sudah terpecahkan. Muncul ungkapan, “Pintu ijtihad telah ditutup.” Kematian ini berakibat pada berhentinya tradisi memperbaharui Islam. Ajaran Islam pun terkunci di titik ini. Jadi lah kitab-kitab yang ditulis sebelum pintu ijtihad ditutup itu menjadi rujukan yang diwariskan sampai ke generasi kita hari ini. Islam pun menjadi terlihat kaku dan seram karena semakin tidak relevan dengan zaman yang terus berubah.

Tugas kita lah generasi hari ini untuk membuka kembali pintu ijtihad itu. Pintu cahaya yang menjadi sumber kemajuan kita berupa karunia akal dan nurani. Islam akan sesuai dengan zaman apabila kita mampu membukanya lagi. Ketuklah perlahan. Kalau belum terbuka juga, ketuk lebih keras lagi dengan salam. Jika masih belum terbuka juga, ambil palu pembaharuan kalian dan dobrak dengan penuh semangat perubahan. Di balik pintu ini, padang pencerahan yang hijau berbunga sedang menunggu kita. Janji besar Islam sebagai agama rahmat untuk semesta.

Anak Muda, Pembaharuan Islam Ada Di Tanganmu

(Gambar dari: http://thedialoguechronicle.com/)
(Gambar dari: http://thedialoguechronicle.com/)

Kamu seorang anak muda. Ceria, dinamis, progresif, tak sabar bergegas mengejar masa depan yang riuh oleh angin perubahan. Tapi kamu juga seorang muslim/ muslimah yang ingin tetap dekat dengan Tuhanmu. Kamu tetap merasa agama adalah bagian yang penting dari kehidupanmu. Jika kamu anak muda yang seperti itu, pernah kah kamu merasa gamang terhadap agamamu? Saat kamu berusaha duduk mendengar kajian dari seorang ustadz atau ulama, pernahkah kamu justru merasa dalam hati kecilmu bahwa ada yang salah? Sedikit-sedikit haram. Sedikit-sedikit dosa. Pernahkah kamu merasa bahwa seolah agama ini, yang katanya relevan untuk segala zaman, justru mengekang dan merantai kakimu? Menyuruhmu membenci sesama, membuatmu merasa was-was, tersisih, dan kaku di tengah duniamu yang semestinya riang penuh warna?

Kalau kamu merasakan kegalauan seperti itu, cukup tahu saja bahwa kamu tidak salah. Agama ini pun juga tidak salah. Lalu mengapa terasa salah? Jawabannya, karena interpretasi yang diajarkan kepada kita sudah usang. Banyak sekali ajaran Islam yang disampaikan kepada kita berasal dari pemikiran abad pertengahan dan kitab-kitab kuning tua yang yang tidak pernah diuji, dipertanyakan, dan ditafsirkan ulang selama ratusan tahun. Mereka diterima begitu saja dan diajarkan kepada kita, generasi masa kini dengan situasi dan pandangan dunia yang tentu sudah jauh berbeda. Para penafsir abad pertengahan itu hidup pada masa ketika dunia mereka belum mengenal konsep-konsep seperti demokrasi, kesetaraan gender, hukum internasional, penghapusan perbudakan, multikulturalisme, dialog kerukunan antar agama, dan nilai modern lainnya.

Padahal, ajaran agama membutuhkan interpretasi baru di setiap masa. Mazhab-mazhab fiqih yang ditulis para Imam di masa lalu semuanya ditulis bukan hanya spesifik terhadap masa hidup mereka, tapi bahkan juga terhadap kota di mana para Imam itu tinggal. Fatwa yang dikeluarkan di Madinah dapat berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan di Baghdad dan Kairo meski pada zaman yang sama karena adanya perbedaan situasi dan budaya. Namun ironisnya, akibat globalisasi dan kemudahan pertukaran informasi, hari ini kita dicekoki oleh tafsir-tafsir agama yang sama sekali tidak kompatibel dengan perkembangan masyarakat kita. Kumpulan fatwa yang ditulis ratusan tahun lalu untuk wilayah Jazirah Arab tiba-tiba dibacakan di masjid-masjid kita di Indonesia pada abad 21 ini tanpa memperhatikan perbedaan kondisi sama sekali. Inilah yang membuat agama Islam kadang terasa salah dan meresahkan.

Yang dibutuhkan agama kita hari ini adalah para mujaddid atau pembaharu. Dan seperti yang kita ketahui bersama, anak muda lah pembawa obor perubahan itu. Anak muda lah yang di sepanjang sejarah mengguncang dinasti-dinasti tua yang tak mau berubah. Anak muda lah yang dari masa ke masa merebut kekuasaan dari para diktator dan membuka gerbang pembebasan. Maka anak muda juga lah yang akan merebut mimbar-mimbar kolot penuh kebencian itu dan menggantinya dengan suara baru dalam nama Tuhan kita yang maha pengasih lagi maha penyayang. Iya, kamu dan semua teman-temanmu. Masa depan agama ini ada di tanganmu.