Saat anak cucu kita kelak pergi meninggalkan bumi dan menetap di antara bintang-bintang, masih penting kah mereka beragama?
Pada tahun 2007, Majelis Fatwa Nasional Malaysia menerbitkan panduan sembahyang dan puasa untuk dua astronot Muslim Malaysia yang hendak berkunjung ke stasiun ruang angkasa internasional (ISS) di orbit bumi. Panduan itu dibuat untuk menjawab masalah-masalah teknis seperti kesulitan menghadap arah kiblat di Mekkah dan gerakan-gerakan sembahyang dalam gravitasi nol. Juga bagaimana menentukan waktu puasa dan berbuka di orbit bumi, di mana batas antara siang dan malam tak lagi jelas. Peristiwa ini menjadi pembuka wacana mengenai masa depan kehidupan beragama, khususnya Islam, di luar angkasa.
Generasi hari ini mungkin masih belum akan menyaksikan migrasi manusia dalam jumlah besar ke luar atmosfer bumi. Namun jika laju peradaban tidak terhambat atau terpukul mundur, dalam beberapa generasi ke depan kita sudah akan mampu membangun koloni-koloni baru di orbit bumi, permukaan bulan, atau tempat-tempat yang lebih jauh lagi. Ini akan menjadi salah satu pencapaian teknologi terbesar yang diraih spesies manusia sejak nenek moyang kita pertama kali belajar menajamkan batu dan menyalakan api beberapa puluh ribu tahun lalu.
Kemungkinan ini menyisakan pertanyaan bagi kita yang mewarisi tradisi beragama dan akan mewariskannya pula pada keturunan kita. Saat mereka kelak terbang dengan pesawat angkasanya menuju rumah baru mereka di tata surya dan planet-planet berjarak puluhan tahun cahaya, masih kah penting bagi mereka untuk beragama? Masih relevan kah untuk membawa serta tradisi agama-agama orangtua mereka ke sana?
Islam, seperti juga agama-agama lainnya yang lahir di bumi, memiliki kaitan yang erat dengan fenomena-fenomena khas planet bumi. Dengan peredaran matahari dan bulannya, dengan rotasi dan siklus 24 jam siang malamnya, dengan alam dan cuacanya, juga dengan fenomena sosial budayanya. Secara khusus, setiap agama terbentuk sebagai respons atas kondisi alam dan budaya yang khas di masing-masing waktu dan tempat kelahirannya. Itu sebabnya kita mendapati kitab suci agama-agama berbicara tentang lokasi geografis, flora dan fauna, serta fenomena sosial yang berbeda.
Al-Qur’an misalnya banyak menyebut vegetasi seperti kurma dan anggur serta hewan seperti unta dan domba. Karena flora fauna itu lah yang banyak ditemukan di masa lahirnya Islam di Jazirah Arab. Begitu pula Al-Qur’an hanya menyebut nama-nama bangsa yang dikenal di Arab seperti Mesir, Yahudi, dan Romawi. Sebaliknya Tripitaka misalnya akan banyak menyebut vegetasi di tempat asal Gautama Buddha seperti teratai, mangga, beringin, serta hewan seperti angsa dan harimau. Begitu pula bangsa-bangsa yang disebutnya adalah bangsa-bangsa di India.
Maka semakin jauh sebuah agama keluar dari konteks waktu dan tempat lahirnya, semakin sulit pula untuk mengatakan bahwa ia masih relevan pada tataran permukaan atau kulitnya. Jika Islam yang lahir di Arab saja sudah mengalami reorientasi ketika memasuki budaya-budaya lain, bagaimana ia akan bertahan di era ruang angkasa? Pada titik ini, akhirnya kita akan kembali pada pertanyaan dasar: Apa hakikat agama? Untuk apa sebenarnya kita beragama?
Jika kita memandang agama sebagai bungkusnya, sebagai kulitnya, sebagai ritual-ritual di permukaannya, maka dapat dipastikan bahwa agama tidak lagi penting di era ruang angkasa. Karena agama yang berpijak pada kulitnya akan segera kehilangan relevansinya begitu kita terbang semakin jauh dari planet biru ini. Mungkin ia akan punah digilas agama baru yang lahir di planet lain, yang kitab sucinya sanggup berbicara lebih canggih tentang lubang hitam, rumus-rumus fisika, rekayasa genetika, pembelokan ruang waktu, dan misteri pusat alam raya.
Tapi jika kita memandang agama sebagai esensinya, sebagai nilai-nilai paling inti dan universal yang dibawanya, maka ia akan sanggup bertahan sampai kapan pun. Ia akan tetap penting, relevan, dan dibutuhkan oleh manusia meski telah menyeberang galaksi menuju bumi-bumi baru di luar sana. Islam telah memiliki bekal penting ini. Bekal itu bernama ijtihad, sebuah tradisi berpikir kritis dan rasional untuk merespons perkembangan dan situasi baru yang berbeda dari zaman Nabi.
Dengan ijtihad, Islam dapat terus berganti kulit dan permukaan, menukar wajah dengan bentuk-bentuk yang lebih canggih dan senantiasa relevan dengan zamannya. Kulit ini yang akan membungkus nilai-nilai paling agung yang tidak akan berubah seperti prinsip Maha Adil, Maha Pengasih, dan Maha Pengampun. Islam yang tidak meributkan perbedaan tata cara sembahyang atau awal Ramadan. Islam yang tidak meributkan perbedaan tata cara berpakaian atau makan minum. Namun Islam yang akan senantiasa membela prinsip-prinsip keadilan, belas kasih, dan pengampunan bagi jiwa-jiwa yang resah lagi gelisah.
Ini lah agama masa depan, yang akan selalu dibutuhkan manusia hingga era ruang angkasa.