Agama Di Gerbang Era Angkasa

Saat anak cucu kita kelak pergi meninggalkan bumi dan menetap di antara bintang-bintang, masih penting kah mereka beragama?

interstellar2
via:  highdefdigest.com

Pada tahun 2007, Majelis Fatwa Nasional Malaysia menerbitkan panduan sembahyang dan puasa untuk dua astronot Muslim Malaysia yang hendak berkunjung ke stasiun ruang angkasa internasional (ISS) di orbit bumi. Panduan itu dibuat untuk menjawab masalah-masalah teknis seperti kesulitan menghadap arah kiblat di Mekkah dan gerakan-gerakan sembahyang dalam gravitasi nol. Juga bagaimana menentukan waktu puasa dan berbuka di orbit bumi, di mana batas antara siang dan malam tak lagi jelas. Peristiwa ini menjadi pembuka wacana mengenai masa depan kehidupan beragama, khususnya Islam, di luar angkasa.

Generasi hari ini mungkin masih belum akan menyaksikan migrasi manusia dalam jumlah besar ke luar atmosfer bumi. Namun jika laju peradaban tidak terhambat atau terpukul mundur, dalam beberapa generasi ke depan kita sudah akan mampu membangun koloni-koloni baru di orbit bumi, permukaan bulan, atau tempat-tempat yang lebih jauh lagi. Ini akan menjadi salah satu pencapaian teknologi terbesar yang diraih spesies manusia sejak nenek moyang kita pertama kali belajar menajamkan batu dan menyalakan api beberapa puluh ribu tahun lalu.

Kemungkinan ini menyisakan pertanyaan bagi kita yang mewarisi tradisi beragama dan akan mewariskannya pula pada keturunan kita. Saat mereka kelak terbang dengan pesawat angkasanya menuju rumah baru mereka di tata surya dan planet-planet berjarak puluhan tahun cahaya, masih kah penting bagi mereka untuk beragama? Masih relevan kah untuk membawa serta tradisi agama-agama orangtua mereka ke sana?

Islam, seperti juga agama-agama lainnya yang lahir di bumi, memiliki kaitan yang erat dengan fenomena-fenomena khas planet bumi. Dengan peredaran matahari dan bulannya, dengan rotasi dan siklus 24 jam siang malamnya, dengan alam dan cuacanya, juga dengan fenomena sosial budayanya. Secara khusus, setiap agama terbentuk sebagai respons atas kondisi alam dan budaya yang khas di masing-masing waktu dan tempat kelahirannya.  Itu sebabnya kita mendapati kitab suci agama-agama berbicara tentang lokasi geografis, flora dan fauna, serta fenomena sosial yang berbeda.

Al-Qur’an misalnya banyak menyebut vegetasi seperti kurma dan anggur serta hewan seperti unta dan domba. Karena flora fauna itu lah yang banyak ditemukan di masa lahirnya Islam di Jazirah Arab. Begitu pula Al-Qur’an hanya menyebut nama-nama bangsa yang dikenal di Arab seperti Mesir, Yahudi, dan Romawi. Sebaliknya Tripitaka misalnya akan banyak menyebut vegetasi di tempat asal Gautama Buddha seperti teratai, mangga, beringin, serta hewan seperti angsa dan harimau. Begitu pula bangsa-bangsa yang disebutnya adalah bangsa-bangsa di India.

Maka semakin jauh sebuah agama keluar dari konteks waktu dan tempat lahirnya, semakin sulit pula untuk mengatakan bahwa ia masih relevan pada tataran permukaan atau kulitnya. Jika Islam yang lahir di Arab saja sudah mengalami reorientasi ketika memasuki budaya-budaya lain, bagaimana ia akan bertahan di era ruang angkasa? Pada titik ini, akhirnya kita akan kembali pada pertanyaan dasar: Apa hakikat agama? Untuk apa sebenarnya kita beragama?

Jika kita memandang agama sebagai bungkusnya, sebagai kulitnya, sebagai ritual-ritual di permukaannya, maka dapat dipastikan bahwa agama tidak lagi penting di era ruang angkasa. Karena agama yang berpijak pada kulitnya akan segera kehilangan relevansinya begitu kita terbang semakin jauh dari planet biru ini. Mungkin ia akan punah digilas agama baru yang lahir di planet lain, yang kitab sucinya sanggup berbicara lebih canggih tentang lubang hitam, rumus-rumus fisika, rekayasa genetika, pembelokan ruang waktu, dan misteri pusat alam raya.

interstellar011
via: theabbstract.wordpress.com

Tapi jika kita memandang agama sebagai esensinya, sebagai nilai-nilai paling inti dan universal yang dibawanya, maka ia akan sanggup bertahan sampai kapan pun. Ia akan tetap penting, relevan, dan dibutuhkan oleh manusia meski telah menyeberang galaksi menuju bumi-bumi baru di luar sana. Islam telah memiliki bekal penting ini. Bekal itu bernama ijtihad, sebuah tradisi berpikir kritis dan rasional untuk merespons perkembangan dan situasi baru yang berbeda dari zaman Nabi.

Dengan ijtihad, Islam dapat terus berganti kulit dan permukaan, menukar wajah dengan bentuk-bentuk yang lebih canggih dan senantiasa relevan dengan zamannya. Kulit ini yang akan membungkus nilai-nilai paling agung yang tidak akan berubah seperti prinsip Maha Adil, Maha Pengasih, dan Maha Pengampun. Islam yang tidak meributkan perbedaan tata cara sembahyang atau awal Ramadan. Islam yang tidak meributkan perbedaan tata cara berpakaian atau makan minum. Namun Islam yang akan senantiasa membela prinsip-prinsip keadilan, belas kasih, dan pengampunan bagi jiwa-jiwa yang resah lagi gelisah.

Ini lah agama masa depan, yang akan selalu dibutuhkan manusia hingga era ruang angkasa.

Membedakan Hijab, Jilbab, dan Khimar

Bagi umat Islam di Indonesia maupun belahan dunia lainnya, kata hijab, jilbab, dan khimar sudah dianggap sama atau sinonim, yaitu pakaian kerudung yang menutup kepala dengan aneka jenisnya. Hal ini sah-sah saja sebagai bagian dari evolusi bahasa, di mana arti baru bisa digunakan pada suatu kata yang sebelumnya memiliki arti berbeda.

Namun ketika merujuk pada Al-Qur’an, maka masing-masing kata ini sebenarnya memiliki artinya sendiri yang berbeda satu sama lain. Seperti apa sih perbedaannya? Mari kita simak bersama-sama.

1. Hijab

Kata ‘hijab’ dalam Al-Qur’an ditemukan dalam surat Al-Ahzab ayat 53, sebagai perintah khusus untuk istri-istri Nabi.

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi)  maka mintalah dari belakang tabir (hijab). Cara yang demikian itu lebih suci bagimu dan bagi mereka.” (QS. Al Ahzab : 53).

Secara bahasa, kata hijab berarti penghalang. Yang dimaksud dengan hijab pada ayat ini adalah tirai yang digunakan sebagai tabir/ pembatas di ruangan. Sehingga ketika istri-istri Nabi bertemu dan berbicara dengan pria lain di ruangan itu, mereka tidak bisa saling memandang. Bentuk hijab adalah seperti umumnya tirai pembatas yang kita kenal, kurang lebih seperti ini:

(Gambar dari: http://www.record-producer.com/)
(Gambar dari: http://www.record-producer.com/)

Definisi hijab ini bisa digunakan untuk menyebut semua jenis pembatas ruangan, termasuk tirai-tirai atau partisi di masjid yang banyak dipakai untuk memisahkan bagian pria dan wanita. Berdasarkan Al-Ahzab ayat 53, kewajiban hijab ini hanya berlaku bagi para pria yang hendak bertemu istri Nabi. Aturan ini tidak berlaku jika mereka bertemu dengan wanita selain istri Nabi. Jadi penggunaan hijab untuk memisahkan pria dan wanita (juga segregasi gender secara umum) sebenarnya tidak pernah diperintahkan untuk umat Islam secara keseluruhan, melainkan hanya untuk istri Nabi saja.

2. Jilbab

Kata ‘jilbab’ dalam Al-Qur’an ditemukan dalam surat Al-Ahzab ayat 59, sebagai perintah untuk membedakan antara wanita merdeka dan budak:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Jilbab secara bahasa berarti penghimpun. Yang dimaksud jilbab adalah kain lebar yang menutup seluruh tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jilbab biasanya berupa jubah lebar yang dipakai sebagai rangkapan luar ketika seorang wanita keluar rumah. Bentuk jilbab seperti yang dimaksud dalam Al-Qur’an kurang lebih seperti ini:

(Gambar dari; http://forusa.org/)
(Gambar dari; http://forusa.org/)

Maka jilbab dalam pengertian ayat ini bukan lah pakaian utama yang langsung menempel di badan, melainkan kain rangkapan luar. Kain ini harus lah menutupi seluruh tubuh, bukan hanya kepala. Fungsi utama jilbab sebagaimana yang diterangkan Al-Ahzab ayat 59 adalah agar mudah dikenali sebagai wanita merdeka, sehingga tidak diganggu oleh pria jahat di Madinah pada masa itu.

Namun seiring perubahan zaman, pergeseran budaya, dan penghapusan perbudakan di seluruh dunia, sebab (illat) ayat ini menjadi hilang sehingga perintah jilbab ini tidak lagi relevan atau pun memenuhi tujuan praktisnya. Selengkapnya sudah dibahas pada artikel ini.

3. Khimar

Kata ‘khimar’ dalam Al-Qur’an ditemukan dalam surat An-Nur ayat 31, sebagai perintah untuk menutup dada:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan (menjaga) kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutup dadanya dengan kain kerudung (khimar) mereka … (.QS An-Nur : 31)

Khimar secara bahasa berarti penutup. Kata khimar ini lah yang paling mendekati makna kerudung dalam Bahasa Indonesia atau tudung dalam Bahasa Malaysia, yaitu kain yang menutup kepala. Bentuknya pun bervariasi tergantung budaya dan pemahamannya. Kerudung tradisional India/ Pakistan misalnya lebih transparan dengan hiasan manik-manik.

(Gambar dari: www.pinterest.com)
(Gambar dari: http://www.pinterest.com)

Berdasarkan asbabun nuzulnya, ayat ini lebih berbicara soal etiket (sopan santun/ kepantasan) dalam berpakaian, bukan etika (moralitas). Berbeda dari etika yang sifatnya universal dan tetap (seperti larangan membunuh, mencuri, dll.), etiket lebih bersifat relatif, sehingga dapat berubah-ubah dalam waktu dan tempat yang berbeda. Sesuatu yang dianggap sopan di tempat tertentu dapat dianggap tidak sopan di tempat lain, begitu juga sesuatu yang dianggap sopan 100 tahun lalu dapat dianggap tidak sopan hari ini. Pendekatan multikulturalisme sangat diperlukan dalam memahami perbedaan standar etiket ini.

***

Jadi sudah mengerti kan bedanya hijab, jilbab, dan khimar? Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka kerudung perempuan Indonesia sebenarnya lebih tepat disebut khimar. Namun karena perkembangan bahasa, kata jilbab dan hijab kemudian juga dipakai untuk menyebut khimar ini, hingga akhirnya dianggap sama. Hal ini sah-sah saja. Tidak masalah jika sekarang kita mengartikan hijab dan jilbab sebagai kerudung. Tapi jangan bingung lagi ya membedakannya dengan hijab dan jilbab yang dimaksud Al-Qur’an, karena keduanya berbeda dari kerudung.

Tanya Jawab Seputar Kontroversi Hijab

Karena banyaknya pertanyaan yang masuk seputar artikel sebelumnya tentang batalnya perintah jilbab/ hijab, maka kami merangkumnya dalam artikel ini.

>> Bagaimana dengan Surat An-Nur ayat 31? Bukankah ayat itu juga bicara tentang perintah jilbab?

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan (menjaga) kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutup dadanya dengan kain kerudung mereka … (.QS An-Nur : 31)

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari ayat ini.

Pertama, ayat ini bukan perintah memakai jilbab. Dalam artikel sebelumnya sudah diterangkan bahwa jilbab berarti kain lebar yang menutup seluruh tubuh. Sedangkan ayat ini tidak menyebut sama sekali tentang kata jilbab, melainkan kerudung (khimar). Bentuk jilbab seperti yang dimaksud dalam Al-Ahzab ayat 59 kurang lebih seperti ini:

(Gambar dari; http://forusa.org/)
(Gambar dari; http://forusa.org/)

Jilbab bukan lah pakaian yang langsung menempel di badan, melainkan kain rangkapan luar. Kain itu harus cukup lebar untuk membungkus seluruh tubuhnya, bukan hanya kepala. Ada pun kerudung (khimar) yang disebut pada An-Nur ayat 31, hanya lah kain yang menutup kepala.

Jadi sebenarnya terdapat salah kaprah antara jilbab dan khimar dalam Bahasa Indonesia (selengkapnya bisa disimak di sini). Yang sering disebut perempuan Indonesia sebagai jilbab sebenarnya adalah khimar, kain penutup kepala. Banyak perempuan memakai kerudung (khimar) kemudian menyangka mereka sudah berjilbab, padahal belum. Jilbab sebenarnya harus menutup sekujur badan sampai kaki.

Kedua, ayat ini menunjukkan bahwa kerudung (khimar) merupakan konsep berpakaian yang sudah dikenal oleh Bangsa Arab. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa perempuan Arab memang sudah mengenal pakaian tertutup, termasuk kerudung dan cadar (penutup wajah) sejak zaman pra-Islam.

Tertullian, seorang Kristen Romawi dari Tunisia pada abad ke-3 Masehi (400 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad) dalam bukunya De velandis Virginibus telah mencatat, “Para perempuan penyembah berhala di Arab, yang tidak hanya menutup kepalanya tapi juga seluruh wajahnya, sehingga mereka lebih memilih menikmati setengah cahaya dengan sebelah matanya saja ketimbang melacurkan wajahnya, akan menghakimimu.”

Ketiga, ayat ini juga menunjukkan adanya faktor urf (adat/ kebiasaan) yang berperan penting. Hal ini bisa diperhatikan pada narasi yang berbunyi, “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya..”. Ada pun bagian yang biasa nampak bisa sangat berbeda antar satu budaya dengan budaya lainnya.

Asbabun Nuzul An-Nur 31 adalah sebuah komplain dari Asma binti Mursyid saat melihat perempuan-perempuan Madinah yang bermain ke kebunnya tanpa menutup dada dan gelang kaki mereka. Komplain ini menunjukkan bahwa ada pelanggaran terhadap nilai kesopanan (etiket) yang menjadi adat di Arab saat itu.

Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa:

Sa‘îd ibn Abî al-Hasan berkata kepada Hasan, “Sesungguhnya para wanita ajam (non-Arab) selalu menyingkapkan dada dan rambut mereka.” Mendengar itu, Hasan berkata, “Palingkan pandanganmu!” (HR. Al-Bukhari)

Riwayat tersebut semakin menegaskan bahwa menutup dada dan rambut adalah bagian dari adat istiadat perempuan Arab, bukan non-Arab. Sehingga di luar Arab, lelaki Arab lah yang disuruh memalingkan pandangannya, bukan perempuan non-Arab yang disuruh menutup tubuhnya.

Perempuan Nusantara juga memiliki standar etiket yang berbeda dari Arab. Hal ini sangat dimengerti oleh para wali pada periode awal penyebaran Islam di Nusantara. Pada masa itu, perempuan Nusantara bahkan masih biasa bertelanjang dada di luar rumah. Sehingga para wali berijtihad bahwa perempuan Nusantara cukup menutupi payudaranya saja. Sementara bagian tubuh lain seperti rambut dan bahu tidak perlu ditutup karena merupakan bagian, “yang (biasa) tampak dari padanya..” dalam budaya Nusantara.

(Gambar dari: www.loka-majalah.com)
(Gambar dari: http://www.loka-majalah.com)

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat seputar aurat lebih berbicara mengenai etiket (sopan santun/ kepantasan), bukan etika (moralitas). Etiket sangat bergantung budaya dan zaman yang spesifik, ada pun etika bersifat universal. Perintah yang bersifat etiket hendaknya tidak disamakan dengan perintah yang bersifat etika seperti berbuat adil, menyebarkan damai, memberi makan orang miskin, dan sebagainya. Sangat disayangkan ketika orang-orang yang mengaku Islam lebih meributkan etiket, namun mengabaikan etika-etika paling agung yang justru dituntut agama.

>> Al-Qur’an itu relevan sepanjang zaman. Semua aturan di dalamnya tidak bisa dibatalkan dengan alasan apa pun. Jangan lah lancang membatalkan hukum Allah.

Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar Bin Khattab pernah membatalkan sebuah perintah dalam Al-Qur’an. Umar membatalkan salah satu kriteria penerima zakat yang jelas-jelas tercantum dalam Al-Qur’an, yaitu muallaf. Apakah Umar menjadi kafir karena berani membatalkan ayat Al-Qur’an? Apakah Umar seorang yang dilaknat Allah?

Umar punya alasan logis di balik keputusannya membatalkan ayat tersebut. Menurutnya, kondisi Islam pada zamannya sudah berbeda dengan pada zaman ketika ayat itu diturunkan. Islam pada zamannya sudah lebih kuat, sehingga motif (illat) pemberian zakat untuk muallaf yaitu untuk memperkuat Islam tidak lagi relevan. Maka ayat itu dapat dibatalkan. Keputusan rasional yang diambil Umar itu disebut ijtihad.

Hukum-hukum dalam Al-Qur’an memiliki tujuan yang sesuai dengan kebutuhan pada zamannya. Ketika zaman telah berubah dan tujuan-tujuan hukum itu tidak lagi relevan, maka pembatalan dan perubahan hukum untuk menyesuaikan keadaan merupakan sesuatu yang sudah seharusnya terjadi. Ini yang disebut ijtihad. Namun umat Islam hari ini terasing dari tradisi ijtihad, sehingga mereka tidak terbiasa lagi berpikir logis dan mudah mengkafirkan pendapat yang berbeda.

>> Anda bukan ulama, jangan menafsirkan sendiri. Lebih baik ikut saja pendapat para ulama agar tidak tersesat.

Islam berbeda dari agama lain, karena dalam Islam tidak ada otoritas tunggal yang berhak menentukan tafsir agama. Jika dalam Kristen terdapat lembaga gereja dan dalam Buddha terdapat lembaga sangha yang memegang otoritas agama secara turun-temurun, maka dalam Islam tidak pernah ada lembaga semacam itu. Lembaga-lembaga ulama yang banyak kita temukan hari ini adalah inisiatif sekelompok umat sendiri, sehingga otoritas mereka tidak pernah mengikat.

Kata ulama dalam Bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari alim (pria) atau alimah (wanita), yang berarti orang berilmu. Ada pun menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimah. Sehingga pada hakikatnya, setiap kita yang mau terus menuntut ilmu adalah para alim dan alimah. Kita semua adalah ulama selama kita mau terus belajar, bukan hanya taklid (percaya buta).

Justru mereka yang percaya buta pada otoritas tanpa menggunakan akalnya lah yang lebih mudah tersesat. Kemunduran agama-agama lain seperti Kristen terjadi ketika otoritas agama mereka ditakuti sedemikian rupa, sehingga ide-ide pencerahan dihambat dan diberangus. Hal yang sama juga terjadi di Dunia Islam ketika para filosof seperti Ibnu Sina dituduh kafir dan buku-buku mereka dibakar. Sebaliknya ketika otoritas agama tidak lagi bersikap otoriter, maka para pemikir terbaik akan lahir dan zaman pencerahan akan tiba.

>> Ada dua lolipop. Yang satu terbungkus rapi, sehingga bersih dan tidak ada lalat yang hinggap. Sedangkan yang satu lagi terbuka bungkusnya sehingga terkena debu dan dihinggapi lalat. Mana yang kamu pilih?

Perempuan adalah manusia, bukan lolipop. Analogi yang menyamakan perempuan dengan lolipop pada dasarnya merendahkan martabat perempuan seperti permen yang tujuannya hanya dihisap dan dinikmati. Analogi ini juga semakin menegaskan bahwa orang-orang yang memaksa perempuan membungkus rapat tubuhnya hanya menganggap mereka sebagai objek belaka, bukan subjek yang bisa berpikir dan berkehendak bebas.

Kalau perempuan disamakan dengan lolipop, lalu laki-laki itu apa? Penikmatnya? Penjilat lolipop?

(Gambar dari: www.salon.com)
(Gambar dari: http://www.salon.com)

Bagaimana kalau laki-laki dianalogikan juga dengan lolipop? Laki-laki yang terbungkus rapi itu seperti lolipop, lebih bersih dan terawat. Tapi laki-laki yang membiarkan rambutnya terbuka itu seperti lolipop yang sudah kotor terkena debu. Tidak ada perempuan yang mau dengan lelaki yang rambutnya terbuka. Apakah analogi ini masuk akal?

Tentu tidak. Laki-laki dan perempuan, keduanya adalah manusia. Bukan lolipop, permen, buah, atau objek pemuas kenikmatan lainnya.

>> Dasar liberal. Ini lah akibatnya kalau Anda mengikuti paham liberal.

Liberalisme merupakan sebuah paham yang berpijak pada prinsip kebebasan dan kesetaraan. Sebelum kamu menghujat liberalisme, sebaiknya kamu pelajari dulu apa itu liberalisme.

Kalau kamu percaya bahwa perbudakan dan penjajahan itu salah, maka kamu seorang liberal. Kalau kamu percaya bahwa laki-laki dan perempuan punya hak yang sama untuk mengejar kesempatan, maka kamu seorang liberal. Kalau kamu percaya bahwa semua manusia, tidak peduli apa pun suku, ras, dan agamanya, memiliki hak-hak yang sama atas hidup yang merdeka, bermartabat, dan bebas dari penindasan, maka kamu seorang liberal.

Dan bukankah itu semua merupakan inti dari ajaran Islam?

Maka Islam itu sendiri pada dasarnya merupakan agama liberal (pembebasan). Islam datang untuk membebaskan (liberasi) manusia dari belenggu penindasan, seperti Nabi yang berjuang melawan para penguasa Quraisy yang zalim. Maka ketika ada sekelompok orang yang mengatasnamakan Tuhan kemudian membajak Islam dan menggunakannya sebagai alat untuk menindas sesama, di situ lah kita perlu melawan.

Semoga menjawab.

Keajaiban Senyum

Nabi bersabda, senyum adalah sedekah. Ilmu psikologi kini mengungkap rahasianya.

(Gambar dari: archive.kaskus.co.id)
(Gambar dari: archive.kaskus.co.id)

Tahukah kamu bahwa senyum itu menular? Seperti virus, senyum ternyata juga bisa menular. Saat ada orang tersenyum pada kita, secara refleks biasanya kita akan membalas senyumnya. Terdapat area khusus di otak yang bertanggungjawab terhadap gerak refleks senyum ini. Seperti yang dimuat di Psychology Today, area tersebut ialah cingulate cortex atau limbic cortex, yaitu bagian di tengah otak yang berkaitan dengan respons otomatis yang tidak disadari.

Meski terlihat sepele, senyum yang tulus punya segudang manfaat bagi diri kita. Senyum membuat wajah kita terlihat lebih menarik di mata orang lain. Dibanding orang yang jarang tersenyum, orang yang lebih sering tersenyum akan dipersepsikan lebih ramah dan menarik. Selain itu, senyum juga dapat membuat mood kita lebih baik, sekaligus juga membuat mood orang-orang di sekitar kita menjadi ikut lebih baik. Hal yang biasa-biasa saja pun dapat terasa lebih manis dan menyenangkan dengan senyum di wajah.

Secara biologis, senyum akan melepaskan neuropeptida yang bekerja melawan stress di dalam tubuh. Neuropeptida merupakan molekul kecil yang memungkinkan sel-sel saraf berkomunikasi. Molekul ini membantu menyebarkan informasi mengenai keadaan emosi kita ke seluruh tubuh saat kita sedang senang, sedih, marah, atau takut.

Di samping itu, senyum yang tulus juga melepaskan hormon-hormon bahagia seperti dopamin, endorfin, dan serotonin. Hormon-hormon ini tidak hanya membuat tubuh menjadi lebih rileks, tetapi juga menurunkan tekanan darah dan detak jantung.  Endorfin juga merupakan hormon yang mampu mengatasi rasa sakit. Sementara serotonin bertindak sebagai anti-depresan.

(Gambar dari: news.liputan6.com)
(Gambar dari: news.liputan6.com)

Sebuah studi psikologi saraf mengungkap bahwa melihat senyum dapat mengaktifkan orbitofrontal cortex, bagian di otak yang berhubungan dengan penghargaan. Sehingga saat melihat orang tersenyum pada kita, secara otomatis kita akan merasa dihargai. Melihat wajah-wajah yang tersenyum akan memberi dampak positif secara mental. Sehingga sebuah senyum jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas bahkan mampu mengubah mood sebuah lingkungan seperti efek bola salju. Karena senyum itu menular.

Sebagai contoh, di pagi hari kamu datang ke sekolah/ tempat kerja, kemudian tersenyum pada teman/ rekan kerjamu. Karena senyummu, dia pun ikut tersenyum. lalu dia menyebar senyumnya pada teman/ rekan kerja yang lain lagi secara berantai. Sampai akhirnya semua orang di sekolah/ tempat kerjamu pun ikut tersenyum. Karena semua orang tersenyum, maka kadar dopamin dan serotonin dalam tubuh mereka menjadi lebih baik. Sehingga suasana belajar/ kerja hari ini menjadi lebih menyenangkan,.

Maka benar sekali kan kalau Nabi mengatakan senyum itu sedekah? Mari perbanyak senyum untuk dunia yang lebih indah!

Siapkah Kita dengan Imam Wanita? (Menyambut Kebangkitan Wanita Islam)

(Gambar dari: http://bi.gazeta.pl)
(Gambar dari: http://bi.gazeta.pl)

Gerakan emansipasi global di awal abad 20 lalu telah melahirkan revolusi sosial yang tak pernah disaksikan dunia sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para wanita di seluruh dunia terjun ke dalam aktivitas politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan budaya yang sebelumnya terlarang bagi mereka. Dengan jumlah yang jauh lebih besar dari kapan pun di masa lalu, para wanita bergerak membanjiri ruang publik, terlibat dalam berbagai sektor, dan menduduki kursi-kursi hakim, profesor, peneliti, anggota parlemen, perwira, deputi, direktur eksekutif, hingga presiden dan perdana menteri. Berkat perubahan pola pikir dan dukungan masyarakat yang semakin egaliter, wanita kini dapat berdiri setara dengan pria dalam membangun masa depan dunia bersama.

Namun di tengah gegap gempita arus kesetaraan gender ini, agama lagi-lagi selalu menjadi sektor yang paling belakang dalam merespons perubahan. Ketika fatwa-fatwa lama yang mengharamkan wanita menjadi hakim dan pemimpin politik kini tak lagi didengar oleh umat, para pemuka agama terus bersikukuh memelihara budaya patriarki tuanya dalam benteng terakhir mereka — masjid. Meski seorang wanita kini dapat menjadi hakim agung dan memimpin sidang dewan di parlemen tertinggi negara, mereka tetap dilarang untuk menjadi imam bahkan di masjid terkecil di lingkungan perumahannya sendiri.

Wanita juga dilarang menjadi khatib, muadzzin, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan kepemimpinan agama di masjid dan ruang publik. Bahkan lembaga-lembaga dakwah sekolah dan kampus yang seharusnya menjadi corong pembaharuan justru menyuburkan budaya patriarki ini. Para aktivis dakwah perempuan yang memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi sekali pun harus tunduk pada aturan diskriminatif bahwa pemimpin lembaga dakwah harus laki-laki. Sampai kapan hal ini akan berlangsung?

Islam dalam bentuknya yang tidak terkotori oleh prasangka gender pada hakikatnya merupakan agama yang menjunjung tinggi persamaan hak pria dan wanita dalam mengejar kesempatan, baik untuk urusan dunia maupun akhirat. Al-Qur’an penuh bertabur dengan ayat-ayat kesetaraan yang menekankan ketakwaan sebagai satu-satunya ukuran kualitas manusia. Pandangan mengenai imam wanita sendiri sebenarnya bukanlah hal yang asing dalam tradisi pemikiran Islam.

Setidaknya ada dua ulama besar dalam sejarah Islam yang membolehkan imam wanita untuk memimpin sembahyang berjamaah pria dan wanita. Mereka adalah Imam At-Tabari, seorang mujtahid dan penulis sirah Nabi, serta Abu Thawr, mufti besar Irak abad 9. Namun fatwa mereka tidak bertahan sampai ke masa kita, karena dikalahkan oleh jumhur ulama yang melarang imam wanita dengan jalan ijma’. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat pola pikir masa itu yang masih terbelit patriarki, penyebab yang sama yang juga membuat jumhur ulama di masa lalu menolak beberadaan nabi-nabi perempuan.

(Gambar dari: http://www.independent.co.uk/)
(Gambar dari: http://www.independent.co.uk/)

Abad 21 membuka babak baru gerakan emansipasi wanita. Setelah sektor-sektor politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan budaya dibebaskan dari diskriminasi gender, para pelopor kini telah memulai gerakan penghapusan diskriminasi di sektor agama. Pada tahun 2005, Amina Wadud, seorang profesor dan ahli tafsir berkebangsaan Amerika Serikat menarik perhatian dunia dengan memimpin sembahyang Jum’at bersejarah di New York. Dalam sembahyang Jum’at ini, pria dan wanita berdiri setara dalam shaf yang sama, dengan pilihan pakaian yang juga lebih menghormati keragaman. Sembahyang Jum’at ini juga diisi oleh khatib wanita dan muadzzin wanita.

Amina mendasarkan keputusannya menjadi imam dengan merujuk pada sebuah hadits tentang Ummu Waraqah yang ditunjuk untuk menjadi imam sembahyang oleh Nabi. Menurut Amina, kata “daariha” pada hadits tersebut yang banyak diartikan sebagai rumah Ummu Waraqah seharusnya berarti kampungnya. Karena Nabi juga menunjuk seorang muadzzin untuk Ummu Waraqah, yang menunjukkan bahwa “daar” Ummu Waraqah mencakup wilayah yang cukup luas sehingga memerlukan adzan. Ini berarti Ummu Waraqah telah ditunjuk Nabi untuk menjadi imam sembahyang di kampungnya.

Amina Wadud tak sendirian. Di berbagai negara, kaum muslimin dan muslimat yang berpikiran progresif juga mulai mempelopori sembahyang berjamaah pria dan wanita yang dipimpin imam wanita. Di Kanada, Raheel Raza untuk pertama kalinya memimpin sembahyang Jum’at berjamaah pada 2005 yang diadakan oleh Muslim Canadian Congress. Sejak 2008, Noor Cultural Centre di Toronto juga telah memiliki khatib dan muadzzin wanita dalam sembahyang Jum’at yang mereka adakan. Sementara di Afrika Selatan, sejumlah masjid telah rutin mengadakan sembahyang berjamaah yang dipimpin wanita. Para wanita juga mulai mengisi khutbah dalam berbagai kegiatan ritual, termasuk khutbah Idul Fitri. Di Spanyol, Perancis, dan Inggris, tuntutan perubahan pun berhembus semakin nyaring.

Seperti perjuangan emansipasi di sektor-sektor lainnya, hanya lah soal waktu sebelum umat akhirnya terbuka bahwa pria dan wanita juga memiliki hak yang sama dalam lingkup agama. Di mana Indonesia dan Asia Tenggara berdiri? Akankah kita ikut menjadi bagian dari pelopor perubahan ini? Mari kita wujudkan bersama.