Enam ratus ribu jamaah haji tahun itu, hanya satu yang diterima Allah. Apa sebabnya?
Fariduddin Atthar, seorang sufi Persia yang termasyhur, menuliskan kisah ini dalam karyanya Tadzkirah Al-Auliya (Kisah Para Wali).
Abdullah bin Mubarak bercerita: Suatu ketika, usai melaksanakan haji dan manasik, aku duduk di Masjidil Haram dan kemudian tertidur. Dalam mimpi, aku melihat dua malaikat turun dari langit sambil berbincang.
“Berapa orang yang berhaji tahun ini?”
“Enam ratus ribu orang.”
“Berapa yang diterima hajinya?”
“Tak seorang pun yang hajinya diterima.”
Mendengar percakapan kedua malaikat itu, aku merasa sedih. Para jamaah haji itu telah menempuh jarak begitu jauh melintasi gurun dengan susah payah demi sampai ke rumah Allah ini, tapi mengapa haji mereka tidak diterima? Aku mendengar kedua malaikat itu melanjutkan percakapannya.
“Ada seorang pria tukang sol sepatu yang tinggal di Damsyik (Damaskus), namanya Ali bin Muwaffaq. Dia batal melaksanakan haji tahun ini. Namun Allah mencatatkan pahala haji untuknya secara sempurna. Berkat keberkahan Ali bin Muwaffaq ini, Allah pun berkenan menerima haji dari seluruh jamaah tahun ini.”
Seketika aku terbangun dari tidurku dan bergegas menuju Damaskus. Aku begitu ingin tahu amal apa yang dia lakukan hingga mendapat kemuliaan setinggi itu. Setiba di Damaskus, aku sampai di sebuah rumah sederhana dan kuketuk pintunya. Seorang pria keluar.
Aku bertanya siapa namanya, lalu dia menjawab, “Namaku Ali bin al-Muwaffaq.”
“Apa pekerjaanmu?” Tanyaku lagi.
Dia menjawab, “Aku seorang tukang sol sepatu. Pekerjaanku memperbaiki sepatu yang rusak.”
Kami pun duduk di masjid, lalu kuceritakan mimpiku padanya. “Ceritakan lah padaku, apa yang sebenarnya terjadi?”
Dia pun bercerita, “Sejak 30 tahun lalu, aku sudah memendam niat untuk mengunjungi Ka’bah dan beribadah haji. Aku sangat bersungguh-sungguh dengan niatku itu. Sedikit demi sedikit kukumpulkan uang dari hasil memperbaiki sepatu hingga terkumpul 350 dirham.
Tadinya aku ingin berangkat haji tahun ini. Tapi uangku belum cukup. Maka aku harus bersabar untuk terus mengumpulkan uang. Mudah-mudahan terkumpul lagi 50 dirham sehingga genap bekalku 400 dirham untuk berangkat haji, Insya Allah. Ketika itu istriku sedang hamil. Dia mencium aroma masakan dari rumah salah satu tetanggaku. Istriku sangat ingin mencicipinya. Dia memintaku untuk memintakan masakan itu.
Maka aku pun mendatangi rumah tetanggaku yang mengeluarkan aroma masakan tersebut. Pemilik rumah itu seorang perempuan. Aku menyampaikan padanya bahwa istriku ingin mencicipi sedikit masakannya. Mendengar permintaanku, perempuan itu justru menangis.
“Daging yang kumasak ini halal untuk keluargaku, tapi tidak untuk keluarga tuan.”
Aku bingung mendengarnya, “Mengapa bisa begitu?”
Perempuan itu pun bercerita, “Anak-anakku masih kecil, tuan. Ayah mereka sudah tiada. Sudah seminggu ini kami tak punya apa-apa untuk dimakan. Beberapa waktu lalu aku berjalan di antara reruntuhan dan menemukan ada bangkai keledai di sana. Maka aku memotong sekerat daging dari bangkai itu dan kumasak menjadi masakan ini. Maka masakan ini halal bagi keluargaku tetapi haram bagi keluarga tuan.”
Mendengarnya, hatiku terbakar oleh rasa kasihan. Aku pun bergegas pulang dan mengambil uang simpananku yang sebanyak 350 dirham. Kuberikan semuanya kepada perempuan itu untuk nafkah dirinya dan anak-anaknya. Dengan itu kuikhlaskan impian hajiku selama 30 tahun demi memberi makan mereka. Ini lah hajiku. Semoga Allah menerima.
Mendengar cerita itu, Abdullah bin Mubarak berkata, “Sungguh benar lah engkau. Malaikat yang berbicara dalam mimpiku pun benar. Ini lah keputusan Yang Maha Kuasa. Dan Allah Maha Mengetahui.”
***
Saudaraku, ada yang lebih penting di mata Allah dari seribu rakaat sembahyang, dari seribu hari puasa. Ada yang lebih mulia di sisi-Nya dari segala ritual dan doa. Meminjam istilah Cak Nun, “Gusti Allah tidak ndeso.” Sembahyang itu baik, tapi baik kah bila kita tetap bersembahyang sementara di luar masjid ada kecelakaan yang butuh pertolongan segera? Begitu pula ibadah haji itu baik, tapi ada hal lain yang jauh lebih baik di mata-Nya. Itu lah perbuatan baik kita pada sesama di saat-saat yang paling dibutuhkan. Tangan dan hati yang tergerak untuk mengangkat penderitaan orang lain. Belas kasih yang menghangatkan dan menjadikan dunia ini tempat yang lebih indah.
Tuhan kita begitu agung. Karena keagungan-Nya itu lah, Dia meminta kita untuk mendahulukan belas kasih pada sesama. Kesalehan sosial di atas kesalehan ritual. Kemanusiaan di atas ketuhanan. Abul Qasim Al-Junaid, seorang wali dari Baghdad pernah memberi nasihat, “Rumah Allah terletak di dadamu. Jaga lah selalu rumah-Nya itu agar tak tercemar.” Mekkah yang sesungguhnya bukan yang ada jauh di sana, melainkan di sini. Di lubuk sanubari kita masing-masing. Mekkah kita ada di sini. Ka’bah kita ada di sini, di wajah orang-orang lemah dan kaum yang tertindas di sekitar kita sendiri. Sudahkah dikunjungi?