Mekkah Kita Ada Di Sini

Enam ratus ribu jamaah haji tahun itu, hanya satu yang diterima Allah. Apa sebabnya?

ahmaddahlan

Fariduddin Atthar, seorang sufi Persia yang termasyhur, menuliskan kisah ini dalam karyanya Tadzkirah Al-Auliya (Kisah Para Wali).

Abdullah bin Mubarak bercerita: Suatu ketika, usai melaksanakan haji dan manasik, aku duduk di Masjidil Haram dan kemudian tertidur. Dalam mimpi, aku melihat dua malaikat turun dari langit sambil berbincang.

“Berapa orang yang berhaji tahun ini?”

“Enam ratus ribu orang.”

“Berapa yang diterima hajinya?”

“Tak seorang pun yang hajinya diterima.”

Mendengar percakapan kedua malaikat itu, aku merasa sedih. Para jamaah haji itu telah menempuh jarak begitu jauh melintasi gurun dengan susah payah demi sampai ke rumah Allah ini, tapi mengapa haji mereka tidak diterima? Aku mendengar kedua malaikat itu melanjutkan percakapannya.

“Ada seorang pria tukang sol sepatu yang tinggal di Damsyik (Damaskus), namanya Ali bin Muwaffaq. Dia batal melaksanakan haji tahun ini. Namun Allah mencatatkan pahala haji untuknya secara sempurna. Berkat keberkahan Ali bin Muwaffaq ini, Allah pun berkenan menerima haji dari seluruh jamaah tahun ini.”
Seketika aku terbangun dari tidurku dan bergegas menuju Damaskus. Aku begitu ingin tahu amal apa yang dia lakukan hingga mendapat kemuliaan setinggi itu. Setiba di Damaskus, aku sampai di sebuah rumah sederhana dan kuketuk pintunya. Seorang pria keluar.

Aku bertanya siapa namanya, lalu dia menjawab, “Namaku Ali bin al-Muwaffaq.”

“Apa pekerjaanmu?” Tanyaku lagi.

Dia menjawab, “Aku seorang tukang sol sepatu. Pekerjaanku memperbaiki sepatu yang rusak.”

Kami pun duduk di masjid, lalu kuceritakan mimpiku padanya. “Ceritakan lah padaku, apa yang sebenarnya terjadi?”
Dia pun bercerita, “Sejak 30 tahun lalu, aku sudah memendam niat untuk mengunjungi Ka’bah dan beribadah haji. Aku sangat bersungguh-sungguh dengan niatku itu. Sedikit demi sedikit kukumpulkan uang dari hasil memperbaiki sepatu hingga terkumpul 350 dirham.

Tadinya aku ingin berangkat haji tahun ini. Tapi uangku belum cukup. Maka aku harus bersabar untuk terus mengumpulkan uang. Mudah-mudahan terkumpul lagi 50 dirham sehingga genap bekalku 400 dirham untuk berangkat haji, Insya Allah. Ketika itu istriku sedang hamil. Dia mencium aroma masakan dari rumah salah satu tetanggaku. Istriku sangat ingin mencicipinya. Dia memintaku untuk memintakan masakan itu.

Maka aku pun mendatangi rumah tetanggaku yang mengeluarkan aroma masakan tersebut. Pemilik rumah itu seorang perempuan. Aku menyampaikan padanya bahwa istriku ingin mencicipi sedikit masakannya. Mendengar permintaanku, perempuan itu justru menangis.

“Daging yang kumasak ini halal untuk keluargaku, tapi tidak untuk keluarga tuan.”

Aku bingung mendengarnya, “Mengapa bisa begitu?”

Perempuan itu pun bercerita, “Anak-anakku masih kecil, tuan. Ayah mereka sudah tiada. Sudah seminggu ini kami tak punya apa-apa untuk dimakan. Beberapa waktu lalu aku berjalan di antara reruntuhan dan menemukan ada bangkai keledai di sana. Maka aku memotong sekerat daging dari bangkai itu dan kumasak menjadi masakan ini. Maka masakan ini halal bagi keluargaku tetapi haram bagi keluarga tuan.”

Mendengarnya, hatiku terbakar oleh rasa kasihan. Aku pun bergegas pulang dan mengambil uang simpananku yang sebanyak 350 dirham. Kuberikan semuanya kepada perempuan itu untuk nafkah dirinya dan anak-anaknya. Dengan itu kuikhlaskan impian hajiku selama 30 tahun demi memberi makan mereka. Ini lah hajiku. Semoga Allah menerima.

Mendengar cerita itu, Abdullah bin Mubarak berkata, “Sungguh benar lah engkau. Malaikat yang berbicara dalam mimpiku pun benar. Ini lah keputusan Yang Maha Kuasa. Dan Allah Maha Mengetahui.”

***

Saudaraku, ada yang lebih penting di mata Allah dari seribu rakaat sembahyang, dari seribu hari puasa. Ada yang lebih mulia di sisi-Nya dari segala ritual dan doa. Meminjam istilah Cak Nun, “Gusti Allah tidak ndeso.” Sembahyang itu baik, tapi baik kah bila kita tetap bersembahyang sementara di luar masjid ada kecelakaan yang butuh pertolongan segera? Begitu pula ibadah haji itu baik, tapi ada hal lain yang jauh lebih baik di mata-Nya. Itu lah perbuatan baik kita pada sesama di saat-saat yang paling dibutuhkan. Tangan dan hati yang tergerak untuk mengangkat penderitaan orang lain. Belas kasih yang menghangatkan dan menjadikan dunia ini tempat yang lebih indah.

Tuhan kita begitu agung. Karena keagungan-Nya itu lah, Dia meminta kita untuk mendahulukan belas kasih pada sesama. Kesalehan sosial di atas kesalehan ritual. Kemanusiaan di atas ketuhanan. Abul Qasim Al-Junaid, seorang wali dari Baghdad pernah memberi nasihat, “Rumah Allah terletak di dadamu. Jaga lah selalu rumah-Nya itu agar tak tercemar.” Mekkah yang sesungguhnya bukan yang ada jauh di sana, melainkan di sini. Di lubuk sanubari kita masing-masing. Mekkah kita ada di sini. Ka’bah kita ada di sini, di wajah orang-orang lemah dan kaum yang tertindas di sekitar kita sendiri. Sudahkah dikunjungi?

Menuju Penyembelihan Berbelas Kasih

Sejauh mana kita telah peduli pada perasaan hewan-hewan yang kita makan?

(Gambar dari: http://www.acuteaday.com/)
(Gambar dari: http://www.acuteaday.com/)

Tahun 2011, publik internasional digemparkan oleh beredarnya video kekerasan dan perlakuan buruk terhadap sapi-sapi di rumah pemotongan di Indonesia. Video ini segera memicu reaksi keras dari banyak pihak. Para peternak Australia sebagai eksportir sapi terbesar ke Indonesia tak tanggung-tanggung turun berdemonstrasi mengecam Indonesia. Mereka begitu marah melihat sapi-sapi yang mereka rawat dengan baik itu dikirim ke Indonesia hanya untuk disiksa sebelum disembelih secara sadis. Namun ada yang janggal dari kehebohan tersebut. Apa itu?

Ketika dunia internasional menunjukkan kemarahannya karena perlakuan buruk yang diterima hewan-hewan ternak di Indonesia, kemarahan yang sama ternyata tidak muncul di dalam negeri. Masyarakat Indonesia seperti tenang-tenang saja mendengar hewan-hewan yang mereka konsumsi ternyata diperlakukan tidak baik saat hidupnya. Beberapa pihak bahkan justru berkomentar sinis pada para peternak Australia yang menuntut penghentian ekspor sapi sebagai bentuk kemarahan. Lebay, katanya. Pertanda apa ini? Apakah mental bangsa kita memang belum cukup beradab untuk bisa menunjukkan empati pada sesama makhluk hidup? Ataukah kita sudah begitu terbiasa dengan perlakuan barbar terhadap hewan sehingga justru bingung ketika negara-negara maju menunjukkan kemarahannya?

Setiap hari, ribuan ton produk hewani membanjiri pasaran. Produk-produk berbasis sapi, kambing, ayam, ikan, serta hewan-hewan lainnya mulai dari daging utuh, daging kalengan, daging olahan seperti sosis, bakso, nugget, hingga aneka produk turunannya. Bersama jaringan industri dan perdagangan serta perputaran uang dalam jumlah sangat besar, mereka sampai ke pasar-pasar dan swalayan lokal hingga akhirnya ke meja makan kita untuk kita santap guna memenuhi kebutuhan nutrisi. Puluhan ribu leher hewan digorok setiap hari untuk memberi makan kita, manusia yang populasinya terus meledak ini.

Dengan semua hal itu, pernahkah kita berpikir tentang hewan-hewan yang kita santap? Sepotong rendang di piring kita tadinya merupakan seekor sapi yang hidup, berjalan, dan melenguh. Seekor sapi yang juga bisa merasakan senang, sedih, takut. Seekor sapi yang juga merasa sakit jika dipukul dan perih jika terluka. Jika kita bersikeras untuk tetap memangsa mereka, tidakkah setidaknya kita berpikir untuk memberikan hewan-hewan itu hidup yang layak dan bahagia sebelum mereka berakhir di meja makan kita? Tidakkah setidaknya kita berusaha untuk meminimalkan semua bentuk penderitaan fisik dan psikis mereka?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa hewan-hewan konsumsi di Indonesia belum diperlakukan dengan standar etika yang memadai. Di pasar-pasar tradisional, adalah hal biasa jika ayam dipotong langsung di depan kawan-kawannya. Tak jarang ayam hidup (yang juga dijejalkan dalam kandang kecil) dipajang sejajar dengan ayam-ayam yang disudah dipotong. Ikan-ikan masih hidup seenaknya saja dibersihkan sisiknya dengan pisau, lalu dibelah perutnya sementara ikan itu masih bergerak-gerak menggelepar. Ikan yang lebih tahan banting seperti lele akan dipukuli sampai mati. Di laut, ikan hiu ditangkapi hanya untuk ditebas siripnya, lalu dilemparkan kembali ke laut dalam keadaan hidup-hidup dengan sirip buntung berdarah. Kondisi kandang-kandang peternakan serta rumah jagal pun banyak yang menyedihkan. Makan paksa sampai digelonggong dilakukan demi menaikkan berat badan hewan.

Idul Adha, hari raya akbar penyembelihan hewan ternak dalam Islam adalah momen introspeksi mengenai etika kita selama ini terhadap sesama makhluk hidup. Sejauh mana kita mampu menunjukkan adab mulia pada makhluk-makhluk lemah yang tak sanggup melawan. Pada hari raya ini, penyembelihan yang biasanya tersembunyi jauh dari pandangan kita tiba-tiba akan dibawa ke depan mata. Lihat lah, ini lah dia rendang dan semurmu. Sate dan baksomu. Sosis dan steakmu. Seonggok daging hidup yang melenguh-lenguh meregang nyawa dengan darah bercucuran. Idul Adha seolah membongkar praktek penjagalan kejam yang selama ini sering kita ingkari atau pura-pura lupakan.

(Gambar dari: http://viewhdpicture.com/)
(Gambar dari: http://viewhdpicture.com/)

Sampai teknologi pangan kelak berhasil menciptakan daging sintetis atau sumber protein buatan lainnya yang selezat dan seharga daging asli, industri yang melibatkan penderitaan hewan berskala massif sepertinya masih belum akan bisa dihapus dari peradaban manusia. Mereformasi cara perlakuan dan penyembelihan hewan adalah tindakan etis yang paling realistis yang bisa kita lakukan saat ini. Pada Idul Adha kali ini, mari kita bertanya lagi tentang hal-hal ini:

  • Sudahkah kita memberikan kualitas hidup yang layak pada hewan-hewan di peternakan? Kandang yang bersih, luas, makanan yang cukup dan baik?
  • Sudahkah kita memperhatikan kondisi psikis hewan-hewan di peternakan? Apakah para penjaga kandang itu memperlakukan dengan baik, tidak memukul atau menendang, tidak melakukan hal-hal yang menakutkan bagi para hewan?
  • Sudahkah kita melakukan penyembelihan dengan cara yang paling tidak menyakitkan? Tidak dengan kasar? Tidak melakukannya di depan teman-temannya?
  • Sudahkah kita berusaha meneliti serta mengembangkan teknologi untuk terus mencari cara penyembelihan yang paling minim penderitaan? Atau mencari alternatif produk hewani?

Semoga kita terus berusaha untuk menjadi para pengasih dan penyayang.

Sayangilah yang di bumi, maka yang di langit akan menyayangimu,” (HR Tirmidzi)